Foto: http://www.livescience.com/55370-why-are-aliens-little-green-men.html
Kita semua tentu tahu bahwa pendidikan merupakan hak setiap warga negara. Karena itu kita bisa melihat sekolah-sekolah didirikan, Universitas dimasyhurkan, lembaga pelatihan dimarakkan. Semua orang, tanpa terkecuali, diharapkan dapat merasakan duduk di bangku sekolah. Ini berlaku di seluruh dunia, bukan hanya di Indonesia.
Namun, sudah tepatkah sistem pendidikan yang ada? Sudahkah sekolah menjadi tempat yang tepat bagi calon penerus bangsa dalam mengembangkan potensinya? Apakah sekolah sudah menjadi tempat yang menyenangkan?
Dan seandainya Alien datang ke bumi lalu bertanya-tanya “buat apa manusia sekolah? Apa gunanya manusia belajar matematika, Ilmu Alam, dan Ilmu Sosial dari pagi sampai siang?”. Berkutat dengan rumus, bergelut dengan tugas sekolah yang tak terhingga (seperti kasih Ibu), hingga bermesraan dengan pekerjaan rumah?
Si Alien itu kemungkinan akan berpikir, bahwa tujuan dibuatnya sekolah-sekolah, mulai dari SD, SMP, SMA agar manusia itu siap untuk masuk Perguruan Tinggi (PT). Ya, masuk Perguruan Tinggi. Alasannya? Coba tanya pada diri sendiri atau kawan-kawan di jaman sekolah dulu, saat kita lulus dari bangku SMA, kita sudah bisa apa selain menyelesaikan soal-soal di sekoah? Sebagian besar lulusan SMA tidak punya ketrampilan khusus yang bisa membuatnya menjadi pribadi yang mandiri. Hal ini terjadi karena kita waktu kita di sekolah terlalu banyak digunakan untuk menyelesaikan soal-soal yang mirip seleksi masuk ke PT.
Semua ini mungkin terjadi akibat dari sistem pendidikan kita. Sitem pendidikan di seluruh dunia, tanpa terkecuali, menurut Sir Ken Robinson, menempatkan matematika dan bahasa di atas, sementara ilmu sastra dan seni berada di bagian paling bawah dari struktur kurikulum kita. Jarang ada sekolah yang mengajarkan anak-anaknya untuk menari setiap hari seperti mengajarkan matematika. Padahal seni tari juga penting seperti matematika, anak-anak akan menari untuk menunjukkan rasa senang mereka.
Sistem pendidikan di sekolah yang ada saat ini dimulai saat revolusi industri di Inggris sebelum abad ke-19. Saat itu, mata pelajaran yang berhubungan dengan dunia kerja sangat diutamakan. Sementara mata pelajaran seni rupa, seni musik, dll. tidak begitu dipentingkan. Hal itu tetap sama hingga saat ini, anak-anak yang ahli dalam matematika dan sains biasanya dianggap “lebih pintar”, sementara yang hebat dalam musik, seni, dan olahraga biasanya dianggap “tidak pintar”.
Akibatnya, anak-anak yang sebenarnya kreatif, misalnya mampu membuat kerajinan tangan tapi nilai matematikanya kurang bagus, dianggap tidak sebaik yang pintar matematika di kelasnya. Mereka lalu merasa tersisih, lalu tidak mengembangkan kreatifitasnya. Mereka dijauhkan dari kondisi yang dapat mengembangkan kreatifitasnya, ditakut-takuti dengan yang namanya “kesalahan” dalam belajar yang dapat mengakibatkan nilai ujiannya rendah.
Akhirnya, kita semua harus menyadari bahwa setiap anak memiliki kecerdasan yang berbeda. Seperti yang kita ketahui, menurut Prof. Howard Gardner ada beberapa jenis kecerdasan (multiple intelligence) yaitu: kecerdasan linguistik, logis matematik, visual dan spasial, musik, interpersonal, intrapersonal, kinestetik dan naturalis. Sehingga, kita harus menghargai setiap anak dengan masing-masing kecerdasan mereka. Anak-anak tidak boleh lagi merasa takut melakukan kesalahan dalam mencoba hal baru. Jika kita tak siap untuk berbuat salah, kita tak akan pernah membuat sesuatu yang original (Sir Ken Robinson).
Kita semua tentu tahu bahwa pendidikan merupakan hak setiap warga negara. Karena itu kita bisa melihat sekolah-sekolah didirikan, Universitas dimasyhurkan, lembaga pelatihan dimarakkan. Semua orang, tanpa terkecuali, diharapkan dapat merasakan duduk di bangku sekolah. Ini berlaku di seluruh dunia, bukan hanya di Indonesia.
Namun, sudah tepatkah sistem pendidikan yang ada? Sudahkah sekolah menjadi tempat yang tepat bagi calon penerus bangsa dalam mengembangkan potensinya? Apakah sekolah sudah menjadi tempat yang menyenangkan?
Dan seandainya Alien datang ke bumi lalu bertanya-tanya “buat apa manusia sekolah? Apa gunanya manusia belajar matematika, Ilmu Alam, dan Ilmu Sosial dari pagi sampai siang?”. Berkutat dengan rumus, bergelut dengan tugas sekolah yang tak terhingga (seperti kasih Ibu), hingga bermesraan dengan pekerjaan rumah?
Si Alien itu kemungkinan akan berpikir, bahwa tujuan dibuatnya sekolah-sekolah, mulai dari SD, SMP, SMA agar manusia itu siap untuk masuk Perguruan Tinggi (PT). Ya, masuk Perguruan Tinggi. Alasannya? Coba tanya pada diri sendiri atau kawan-kawan di jaman sekolah dulu, saat kita lulus dari bangku SMA, kita sudah bisa apa selain menyelesaikan soal-soal di sekoah? Sebagian besar lulusan SMA tidak punya ketrampilan khusus yang bisa membuatnya menjadi pribadi yang mandiri. Hal ini terjadi karena kita waktu kita di sekolah terlalu banyak digunakan untuk menyelesaikan soal-soal yang mirip seleksi masuk ke PT.
Semua ini mungkin terjadi akibat dari sistem pendidikan kita. Sitem pendidikan di seluruh dunia, tanpa terkecuali, menurut Sir Ken Robinson, menempatkan matematika dan bahasa di atas, sementara ilmu sastra dan seni berada di bagian paling bawah dari struktur kurikulum kita. Jarang ada sekolah yang mengajarkan anak-anaknya untuk menari setiap hari seperti mengajarkan matematika. Padahal seni tari juga penting seperti matematika, anak-anak akan menari untuk menunjukkan rasa senang mereka.
Sistem pendidikan di sekolah yang ada saat ini dimulai saat revolusi industri di Inggris sebelum abad ke-19. Saat itu, mata pelajaran yang berhubungan dengan dunia kerja sangat diutamakan. Sementara mata pelajaran seni rupa, seni musik, dll. tidak begitu dipentingkan. Hal itu tetap sama hingga saat ini, anak-anak yang ahli dalam matematika dan sains biasanya dianggap “lebih pintar”, sementara yang hebat dalam musik, seni, dan olahraga biasanya dianggap “tidak pintar”.
Akibatnya, anak-anak yang sebenarnya kreatif, misalnya mampu membuat kerajinan tangan tapi nilai matematikanya kurang bagus, dianggap tidak sebaik yang pintar matematika di kelasnya. Mereka lalu merasa tersisih, lalu tidak mengembangkan kreatifitasnya. Mereka dijauhkan dari kondisi yang dapat mengembangkan kreatifitasnya, ditakut-takuti dengan yang namanya “kesalahan” dalam belajar yang dapat mengakibatkan nilai ujiannya rendah.
Akhirnya, kita semua harus menyadari bahwa setiap anak memiliki kecerdasan yang berbeda. Seperti yang kita ketahui, menurut Prof. Howard Gardner ada beberapa jenis kecerdasan (multiple intelligence) yaitu: kecerdasan linguistik, logis matematik, visual dan spasial, musik, interpersonal, intrapersonal, kinestetik dan naturalis. Sehingga, kita harus menghargai setiap anak dengan masing-masing kecerdasan mereka. Anak-anak tidak boleh lagi merasa takut melakukan kesalahan dalam mencoba hal baru. Jika kita tak siap untuk berbuat salah, kita tak akan pernah membuat sesuatu yang original (Sir Ken Robinson).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar